Viral! Dinilai Aneh “PN Berau” Penegak Hukum JPU Tuntut Terdakwa Pasutri 4 Tahun 6 bulan Pada Kelompok Masyarakat Tani.
BERAU, ZONAMERAH86.COM – Diduga sungguh aneh, “tapi nyata” itulah yang dapat disebut dengan menarik perhatian publik dan selepas napas yang panjang, pasangan suami dan istri, yaitu Sdr. Yupiter Titus Nesimnasi dan Maqhda Fransisca, pada persidangan kemarin JPU (Jaksa Penuntut Umum) dinilai dipaksa tetap menutut 4 Tahun 6 bulan dan denda 100 juta (3 bulan tahanan) tuntutan pasangan suami istri, yang di sampaikan, pada Jum’at,(18/8/2023), Kabupaten Berau, Kaltim.
Pada persidangan sebelumnya, LBHK Wartawan dan IWB telah menyoroti diduga ada yang aneh sebenarnya, pada persidangan yang dilaksanakan, dimana terdakwa telah menyiapkan 2 saksi ahli, namun hanya satu yang dapat menyampaikan ahlinya yaitu saksi ahli pidana, untuk saksi ahli yang Kedua tidak diberikan waktu, alasan dikarenakan waktu yang tidak tepat, namun hakimpun sendiri mengatakan persidangan sudah mepet, sehingga tidak memberikan waktu lagi pada saksi ahli terdakwa pasutri yang ke duanya.
Hakim langsung menjadwalkan pada JPU sidang berikutnya Tuntutan, hal inilah yang membuat terdakwa pasangan suami istri kecewa, hakim tidak memperhatikan hak-hak kelompok Tani dijadikan terdakwa. Ucapnya Orin Gusta.
Saat persidangann Saksi Ahli Pidana yang di bawakan oleh Orin Gusta Andini S.H., M.H sebagai saksi ahli memaparkan keahlihannya, bahwa pasangan Suami dan Istri tidak dapat dipidanakan.
Saksi Ahli Pidana, Orin Gusta Andini, S.H.,M.H, yang berasal dari Akademisi, Dosen UNIVERSITAS MULAWARMAN Samarinda, mencermati pasal yang dikenakan terhadap terdakwa dalam perkara Pasangan dan suami istri Sdr.Yupiter Titus Nesimnasi dan Maqhda Fransisca, saat menghadirkan saksi Ahli, melaui Zoom.
Orin Gusta Andini, S.H.,M.H sebagai Ahli berpendapat bahwa penggunaan Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan hanya digunakan apabila yang ditempati atau diduduki oleh subjek hukum adalah kawasan hutan, sedangkan apabila terjadi perubahan status dari Kawasan hutan menjadi wilayah konsesi, barulah perbuatan merintangi kegiatan pertambangan sebagaimana Pasal 162 dapat digunakan.
Oleh karena itu, dalam keterangan ini, Orin Gusta Andini, S.H.,M.H sebagai ahli hanya akan fokus pada unsur pasal yang ada dalam ketentuan UU Minerba, yakni, Pasal 162. Pasal 162 UU Minerba mengatur bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).”
Lanjut, Sebelum menjelaskan lebih jauh, maka ahli akan menjelaskan unsur pasal ini.
Dimana subjek hukum dalam pasal ini adalah setiap orang, sedangkan perbuatan yang dilarang
dilakukan adalah:
1) perbuatan merintangi; atau
2) perbuatan mengganggu,
3) kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2).
Menurut Orin, Ahli Pidana, Perbuatan terdakwa sebagaimana dinarasikan dalam dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) berupa merintangi atau menganggu harus dilihat secara lebih cermat, mengingat kedua terdakwa melakukan perbuatan dengan tersebut karena “merasa memiliki” SKPT sebagai alas hak kepemilikan tanah, sehingga perbuatan yang dianggap merintangi atau mengganggu yang dipandang telah dilakukan para terdakwa sesungguhnya merupakan upaya yang ditujukan semata-mata untuk membela hak dan kepentingannya.
Selain itu, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 136 sebagai syarat pemberlakuan Pasal 162 UU Minerba yang mengatur bahwa.
(1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
Oleh karena itu, Orin Gusta Andini, S.H., M.H, sebagai ahli berpendapat bahwa penggunaan Pasal 162 UU Minerba harus dilakukan dengan hati-hati karena bersifat limitatif yang persyaratannya diatur pada Pasal 136 ayat (1), bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Eksplorasi hanya bisa melakukan kegiatan operasi produksi setelah menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan berlaku.
Hal itu berarti yang diatur hanya hak atas tanah dan lepas setelah terjadi jual beli, akan sangat tidak relevan apabila para terdakwa telah memiliki SKPT, namun dianggap merintangi atau menganggu kegiatan
pertambangan di atas lahan yang mereka miliki haknya.
Dalam doktrin hukum pidana, bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan apabila seseorang memenuhi prinsip keterpenuhan actus reus dan mens rea.
Actus reus merupakan unsur perbuatan, sedangkan mens rea merupakan unsur kesalahan.
Kesalahan dalam hukum pidana merupakan elemen penting dalam
pertanggungjawaban pidana karena mengandung niat jahat yang berkaitan dengan kesengajaan atau willen en wettens (mengetahui dan menghendaki).
Apabila seseorang melakukan perbuatan, namun ia sama sekali tidak mengetahui maupun menghendaki, maka seseorang itu tidak dapat dipidana karena unsur kesalahan tidak terpenuhi.
Sehubungan dengan bahwa ternyata SKPT milik terdakwa yang diperoleh dari kepala kampung ternyata mengandung permasalahan hukum (bahwa SKPT diterbitkan dalam
wilayah konsesi dan kepala kampung telah diproses hukum atas perbuatannya, yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui oleh para terdakwa), maka apabila seseorang
tidak mengetahui dan mengira sebelumnya bahwa ia telah memperoleh dengan cara benar sebagaimana pada umumnya prosedur jual beli tanah sesuai aturan hukum, maka terhadap seseorang itu tidak dapat dipandang memiliki niat jahat dalam dirinya.
Dalam hukum pidana, seseorang yang tidak mengetahui dan menghendaki, dalam dirinya dipandang tidak ada ketercelaan atau niat jahat, hal itu berakibat pada tidak terpenuhinya unsur kesalahan atau mens rea, sehingga syarat pertanggungjawaban
pidana tidak terpenuhi sebagiamana asas Gen Straaf Zonder Schuld.
Berdasarkan asas fiksi hukum bahwa semua orang dianggap mengetahui hukum, namun perlu diingat bahwa asas ini tidak berlaku pada izin atau beshcikking, sehingga apabila orang tidak mengetahui adanya suatu izin, maka ia tidak pula dapat dianggap melanggar izin atau beschikking itu.
“Selain itu, sebagai pertimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam, dapat merujuk prinsip pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 tentang uji materiil undang-undang Nomor 1 tahun 2019 tentang wilayah pesisir, dalam perkara ini kiranya relevan prinsip penggunaan sumber daya alam yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus memenuhi asas kemanfaatan yang merata, partisipasi, dan distributive (bahwa apabila akan dimanfaatkan, maka harus juga memerhatikan akses distribusi masyarakat) yang mana ketiganya merupakan implementasi dari prinsip keadilan.
Penjelasan Orin Gusta Andini, S.H.,M.H, Ahli Pidana sudah jelas, dipaparkan dan JPU dan Hakim harus mempertimbangkan penjelasan daripada Saksi Ahli Pidana. Lanjut bahwa Terdakwa sangat berkeyakinan bahwa Sdr. Yupiter Titus Nesimnasi dan Maqhda Fransisca tidak bersalah, bahkan tidak dapat dipidanakan.
Sedangkan saksi ahli yang di hadirkan oleh JPU saja, menurut keterangan terdakwa berbohong dalam kesaksiannya, banyaknya kejanggalan yang dirasa terdakwa, bahwa ahli JPU katakan lahan milik kami, lahan milik Koperasi Tanah Toraja, dari awal bahkan PT. BC Pun tahu spanduk kami Kelompok Tani Toraja, kok malah disebut koperasi tanah Toraja, pernyataan ahli saja sudah jelas salah.
Kemudian terdakwa, mengatakan tidak pernah menolak perrambangan, Namun berikan hak-hak kelompok tani yang sudah belasan tahun di garab, Jangan rampas penghidupan orang Kebun (warga), hanya untuk Investor (Tamu) yang datang ke berau, untuk menggaruk hasil alam Kabupaten Berau.
Terdakwa pasangan suami istri saat ini minta kebenaran dan keadilan, terdakwa harus dibebaskan, ada dugaan cacat hukum dan dipaksakan agar terdakwa tetap dihukum, namun terdak tetap akan banding bila Hakim Pengadilan Negeri Berau tetap menjatuhkan hukuman pada pasutri terdakwa kami siap melawan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Kami di buat status terdakwa akan surati kep Presiden RI, Ir. Haji Jokowi Dodo, diduga kelompok mafia tanah kasus yang menimpanya tidak pantas di persidangkan.
LBHK Wartawan Berau dan IWB Berau siap mengawal persidangan terdakwa, hingga selesai.
Tim LBHK Wartawan dan IWB Berau, Soroti Tuntutan JPU 4 Tahun 6 bulan pada Warga kelompok Tani, Pasangan Suami Istri di PN Berau
Tanjung Redeb-Sungguh aneh, itulah yang dapat diucapkan dengan menarik napas yang panjang, pasangan suami dan istri, yaitu Sdr.Yupiter Titus Nesimnasi dan Maqhda Fransisca, pada persidangan kemarin JPU (Jaksa Penuntut Umum) tetap menutut 4 Tahun 6 bulan dan denda 100 juta (3 bulan tahanan) tuntutan pasangan suami istri, yang di sampaikan, pada jumad,(18/8/2023), Kabupaten Berau, Kaltim.
Pada persidangan sebelumnya, LBHK Wartawan dan IWB telah menyoroti diduga ada yang aneh sebenarnya, pada persidangan yang dilaksanakan, dimana terdakwa telah menyiapkan 2 saksi ahli, namun hanya satu yang dapat menyampaikan ahlinya yaitu saksi ahli pidana, untuk saksi ahli yang Kedua tidak diberikan waktu, alasan dikarenakan waktu yang tidak tepat, namun hakimpun sendiri mengatakan persidangan sudah mepet, sehingga tidak memberikan waktu lagi pada saksi ahli terdakwa yang ke dua.
Hakim langsung menjadwalkan pada JPU sidang berikutnya Tuntutan, hal inilah yang membuat terdakwa pasangan suami istri kecewa dan tidak dapat kebenaran dan keadilan, hakim tidak memperhatikan hak-hak terdakwa.
Saat persidangann Saksi Ahli Pidana yang di bawakan oleh Orin Gusta Andini S.H., M.H sebagai saksi ahli memaparkan keahlihannya, bahwa pasangan Suami dan Istri tidak dapat dipidanakan.
Saksi Ahli Pidana, Orin Gusta Andini, S.H.,M.H, yang berasal dari Akademisi, Dosen UNIVERSITAS MULAWARMAN Samarinda, mencermati pasal yang dikenakan terhadap terdakwa dalam perkara Pasangan dan suami istri Sdr.Yupiter Titus Nesimnasi dan Maqhda Fransisca, saat menghadirkan saksi Ahli, melaui Zoom.
Orin Gusta Andini, S.H.,M.H sebagai Ahli berpendapat bahwa penggunaan Pasal 78 ayat (2) UU Kehutanan hanya digunakan apabila yang ditempati atau diduduki oleh subjek hukum adalah kawasan hutan, sedangkan apabila terjadi perubahan status dari Kawasan hutan menjadi wilayah konsesi, barulah perbuatan merintangi kegiatan pertambangan sebagaimana Pasal 162 dapat digunakan.
Oleh karena itu, dalam keterangan ini, Orin Gusta Andini, S.H.,M.H sebagai ahli hanya akan fokus pada unsur pasal yang ada dalam ketentuan UU Minerba, yakni, Pasal 162. Pasal 162 UU Minerba mengatur bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Lanjut, Sebelum menjelaskan lebih jauh, maka ahli akan menjelaskan unsur pasal ini. Dimana subjek hukum dalam pasal ini adalah setiap orang, sedangkan perbuatan yang dilarang dilakukan adalah:
1) perbuatan merintangi; atau
2) perbuatan mengganggu,
3) kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2).
Menurut Orin, Ahli Pidana, Perbuatan terdakwa sebagaimana dinarasikan dalam dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) berupa merintangi atau menganggu harus dilihat secara lebih cermat, mengingat kedua terdakwa melakukan perbuatan dengan tersebut karena “merasa memiliki” SKPT sebagai alas hak kepemilikan tanah, sehingga perbuatan yang dianggap merintangi atau mengganggu yang dipandang telah dilakukan para terdakwa sesungguhnya merupakan upaya yang ditujukan semata-mata untuk membela hak dan kepentingannya.
Selain itu, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 136 sebagai syarat pemberlakuan Pasal 162 UU Minerba yang mengatur bahwa
(1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
Oleh karena itu, Orin Gusta Andini, S.H., M.H, sebagai ahli berpendapat bahwa penggunaan Pasal 162 UU Minerba harus dilakukan dengan hati-hati karena bersifat limitatif yang persyaratannya diatur pada Pasal 136 ayat (1), bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Eksplorasi hanya bisa melakukan kegiatan operasi produksi setelah menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hal itu berarti yang diatur hanya hak atas tanah dan lepas setelah terjadi jual beli, akan sangat tidak relevan apabila para terdakwa telah memiliki SKPT, namun dianggap merintangi atau menganggu kegiatan
pertambangan di atas lahan yang mereka miliki haknya.
Dalam doktrin hukum pidana, bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan apabila seseorang memenuhi prinsip keterpenuhan actus reus dan mens rea.
Actus reus merupakan unsur perbuatan, sedangkan mens rea merupakan unsur kesalahan.
Kesalahan dalam hukum pidana merupakan elemen penting dalam
pertanggungjawaban pidana karena mengandung niat jahat yang berkaitan dengan kesengajaan atau willen en wettens (mengetahui dan menghendaki).
Apabila seseorang melakukan perbuatan, namun ia sama sekali tidak mengetahui maupun menghendaki, maka seseorang itu tidak dapat dipidana karena unsur kesalahan tidak terpenuhi.
Sehubungan dengan bahwa ternyata SKPT milik terdakwa yang diperoleh dari kepala kampung ternyata mengandung permasalahan hukum (bahwa SKPT diterbitkan dalam
wilayah konsesi dan kepala kampung telah diproses hukum atas perbuatannya, yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui oleh para terdakwa), maka apabila seseorang
tidak mengetahui dan mengira sebelumnya bahwa ia telah memperoleh dengan cara benar sebagaimana pada umumnya prosedur jual beli tanah sesuai aturan hukum, maka terhadap seseorang itu tidak dapat dipandang memiliki niat jahat dalam dirinya.
Dalam hukum pidana, seseorang yang tidak mengetahui dan menghendaki, dalam dirinya dipandang tidak ada ketercelaan atau niat jahat, hal itu berakibat pada tidak terpenuhinya unsur kesalahan atau mens rea, sehingga syarat pertanggungjawaban
pidana tidak terpenuhi sebagiamana asas Gen Straaf Zonder Schuld.
Berdasarkan asas fiksi hukum bahwa semua orang dianggap mengetahui hukum, namun perlu diingat bahwa asas ini tidak berlaku pada izin atau beshcikking, sehingga apabila orang tidak mengetahui adanya suatu izin, maka ia tidak pula dapat dianggap melanggar izin atau beschikking itu.
“Selain itu, sebagai pertimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam, dapat merujuk prinsip pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 tentang uji materiil undang-undang Nomor 1 tahun 2019 tentang wilayah pesisir, dalam perkara ini kiranya relevan prinsip penggunaan sumber daya alam yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus memenuhi asas kemanfaatan yang merata, partisipasi, dan distributive (bahwa apabila akan dimanfaatkan, maka harus juga memerhatikan akses distribusi masyarakat) yang mana ketiganya merupakan implementasi dari prinsip keadilan.
Penjelasan Orin Gusta Andini, S.H.,M.H, Ahli Pidana sudah jelas, dipaparkan dan JPU dan Hakim harus mempertimbangkan penjelasan daripada Saksi Ahli Pidana. Lanjut bahwa Terdakwa sangat berkeyakinan bahwa Sdr. Yupiter Titus Nesimnasi dan Maqhda Fransisca tidak bersalah, bahkan tidak dapat dipidanakan.
Sedangkan saksi ahli yang di hadirkan oleh JPU saja, menurut terdakwa berbohong dalam kesaksiannya, banyak nya kejanggalan yang dirasa terdakwa, bahwa ahli JPU katakan lahan milik kami, lahan milik Koperasi Tanah Toraja, sedari awal bahkan PT. BC pun tahu spanduk kami Kelompok Tani Toraja, koq malah disebut koperasi tanah toraja, pernyataan ahli saja sudah salah.
Kemudian terdakwa, mengatakan tidak pernah menolak perrambangan, Namun berikan hak-hak kelompok tani yang sudah belasan tahun di garab, Jangan rampas penghidupan orang kebun (warga), hanya untuk Investor (Tamu) yang datang ke berau, untuk menggaruk hasil alam Kabupaten Berau.
Terdakwa pasangan suami istri saat ini minta keadilan, terdakwa harus dibebaskan, ada dugaan cacat hukum dan dipaksakan agar terdakwa tetap dihukum, namun terdak tetap akan banding bila Hakim Pengadilan Negeri Berau tetap menjatuhkan hukuman pada terdakwa.
Terdakwa akan surati Presiden, karena kasus yang menimpanya tidak pantas di persidangkan.
LBHK Wartawan Berau dan IWB Berau siap mengawal persidangan terdakwa, hingga tuntas.
Sehingga berita ini diturunkan berdasarkan pantauan Tim awak media Kalimantan Timur. (*)